ILMU TASAWUF
Islam adalah agama yang sarat dengan
ajaran kebatinan yang disauk dari Telaga Rosulallah s.a.w. yang luas tiada
bertepi, suatu ajaran kebatinan yang berabad-abad telah mewarnai kehidupan rasa
umat islam pada umumnya khususnya di tanah air yang kita cintai ini.
Berkembangnya dunia modern dengan
segala persoalan yang dihadapi, terjadinya perubahan tata nilai, intregitas
budaya, kecenderungan menuju arah globalisasi dan aspek-aspek lainnya merupakan
konsekwensi logis dari suatu proses kehidupan. Dampak positif maupun negatif memangselalu
ada. Khawatir dengan terjadinya ketidak seimbangan antara pembinaan rohani dan
jasmani, mental spiritual dengan fisik material maka penangkal yang paling
ampuh untuk menghadapi akibat ketidak seimbangan tersebut adalah menyelami
kembali karifan-kearifan ajaran dalam ilmu tasawuf yang diperankan oleh
para sufiyang menikmati ajaran agama digali dari sisi kebatinan atau kerohaniannya.
Allah yang Maha Benar telah
memberikan arahan suci dengan firman-Nya :
“seyogyanya, carilah kebahagiaan
akhirat pada apa yang telah Allah berikan (petunjuk) untukmu, namun jangan lupa
bagianmu di dunia”
(QS.al-Qoshosh : 77)
Sudah sejak lama kalangan Ulama
kebatinan islam (sufi) mengkhawatirkan ketidak seimbangan pembinaan
rohani dan jasmani tersebut, sehingga nada suara, senandungdan irama dalam
bentuk ucapan dan Tulisan termasuk Imam Ghazali seakan-akan membenci dunia
dengan serba-serbinya. Kalau kita amati bentuk-bentuk ungkapan kalangan
ulama-ulama kebatinan islam/ahli tasawuf/sufi tentang
sorotan-sorotan mereka kepada dunia, dapat disimpulkan :
“Silahkan anda untuk merebut
kedua-duanya (dunia akhirat)kalau anda memang mampu. Tetapi kenyataan menunjukan
betapa banyak sudah manusia yang tenggelam dalam kepentingan dunianya, yang
sukar untuk diselamatkan. Bila akhir hayat datang menjelang, mereka tinggalkan
dunia –nyatanpa membawa apa-apa, dan datang diakhirat tidak mendapat apa-apa.
Dengan tidak membawa apa-apadan tidak mendapat apa-apa pasti mengalami penderitaan,
kesengsaran yang sulit untuk digambarkan”.
Para‘Arif Billah yang telah
mengamalkan ilmu tasawuf dengan penuh keyakinan ditambah dengan
pengalaman dan kenikmatan baik yang telah mereka rasakan, ingin berbagi rasa,
meskipun mereka sadar tidak-lah semua orang bisa begitu, dan tidak semua orang
harus begitu. Mereka sadar sepenuhnya dengan hadist Rosulallah s.a.w. : “sebaik-baik
urusan ialah tengah-tengah”, pengertian “tengah-tengah” (awsath) adalah
“keseimbangan”.Lalu bagaimanakah untuk menggapai keadaan yang “awsath”, para
‘Arif Billah menjawab : “Dihadirat
Allah” Keadaan itulah yang tidak ada batasnya, yang dalam istilah al-Qur’an :
”Pada kedudukan yang pasti
benardisamping Allah yang Maha Memiliki/ Maha Menentukan”. (QS. Al-Qomar : 55).
Menyadaribahwa manusia mempunyai
keterbatasan dan terasa sulit menempatan diri pada dua pilihan secara
bersamaan, maka pada akhirnya mereka memberatkan pilihannya pada kepentingan
akhirat. Memfokuskan diri pada keduniawian mungkin saja bisa meraih hasil
sebesar-besarnya, taruhlah sampai trilyunan namun kekayaan tersebut tidaklah
kekal yang pada saat akhir hayat nanti akan ditinggalkannya.
Dengan adanyaIlmu tasawuf dari
para ‘arif billah (sufi),menempatkan kehidupan ini sarat dengan makna
terdalam melalui pengamalan ber-agama dimana keilmuan tersebut disauk dari
al-Qur’an dan Hadist Rosulallah s.a.w. serta para sahabat sebagai sumber yang
tidak akan ada habis-habisnya, dan mereka-pun menghayati dan menikmati do’a
yang diajarkan oleh Rosulallah s.a.w. :
”Ya Allah, naungilah hamba dibawah
naungan-Mu, pada hari yang tiada naungan yang paling baik kecuali dibawah
naungan-Mu. Berilah hamba dengan secangkir Nabi-Mu Muhammad s.a.w. suatu
minuman yang menyegarkan yang tidak akan merasa haus lagi sesudah itu
selama-lamanya. Ya Allah, Yang Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan”.
Konsep yang mereka sodorkan ialah
ajaran Makrifatullah yang mencakup musyahadah, Mukasyafah dan Mahhabah
(istilah-istilah tersebut akan dibahas dibagian lain blog ini) dengan
dasar-dasar yang jelas dan shahih :
“Kami buka pandanganmu dari yang
menutupimu, pada hari itu akan terang, jelas.” (QS. Al-Qof : 22.
“Mula-mula beragama adalah Makrifat
(mengenal) kepada Allah” (al-Hadist)
“Maka sesunggguhnya, bukanlah matanya
yang buta, tetapi (mata) hati yang berada dirongga dadanya”. (QS. Al-Haj : 46)
“Hai orang-orang yang beriman, barang
siapa diantara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka-pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah : 54)
“Barang siapa yang ingin menjumpai Allah,
Allah-pun ingin menjumpainya. Dan barang siapa yang tidak ingin menjumpai
Allah, maka Allah-pun tidak ada berkeinginan menjumpainya”(HR. Ahmad, Bukhori, Muslim,
Turmudzi, dan Nasa’i. Rodhiyallahu’anhum)
Tasawuf Bukanlah Klenikisme dan Magic
Betapa banyak dan amat disayangkan
bahwa persangkaan orang-orang saat ini dan bahkan dari sebagian golongan umat
islam sendiri yang mana sangkaan mereka bersumber pada pendapat-pendapat
golongan Pengamat/Penyelidik barat tentang ke-Timuran yang sama sekali bukan
dan malah anti islam, yang menyatakan
bahwa ilmu tasawuf adalah ajaran klelik dan magic dan bahkan ada yang
mengatakan bahwa ajaran tasawuf meniru dari prilaku pendeta serta ajaran
hinduisme. Alangkah disayangkan pendapat tersebut dan sungguh pendapat yang
amat buruk persangkaannya yang mengakibatkan ruh dari ajaran islam sendiri
dapat tercerabut sebagaimana tercerabutnya akar tanaman dari tanahnya sehingga
layulah kehidupan yang menenteramkan dan membahagiaakan karena menjalankan
agama tanpa dilandasi pengenalan dan rasa cinta terhadap Tuhan.
Pengamalan ilmu tasawuf
bersumber pada kesucian al-Qur’an serta telaga Nabi s.a.w. dimana inti
ajarannya meliputi : Tobat, Mujahadah (bersungguh-sungguh), uzlah
(menyepi/menyendiri sebagaimana menyepinya nabi di gua hiro’), Takwa, wara’
(meninggalkan perbuatan sia-sia), Zuhud (meninggalkan kesenangan dunia),
menentang nafsu, Tawakal, qona’ah, syukur, yakin, sabar, muroqobah (merasa
selalu diawasi Allah), ikhlas, dzikir, akhlak mulia, kesopanan, ma’rifat kepada
Allah, Cinta pada Allah dll. Bukankah kesemuanya itu diambil dari qur’an dan
hadist dan merupakan hakikat dari ajaran-ajaran islam?
Tentang adanya praktek-praktek klinis
oleh orang-orang yang umumnya disebut “orang pinter” sama sekali tidak ada
hubungannya dan sangkut pautnya dengan ajaran/ilmu tasawuf. Seorang
ulama ataupun yang sudah dianggap Auliya’ bisa saja meberikan pertolongan
terhadap umat dalam hal yang bersifat klinis, tetapi mereka bukanlah misi
sebenarnya yang mereka emban (sekalipun mereka mempunyai kelebihan/karomahakan
hal tersebut). Mereka sebagai pewaris Nabi-nabi (warotsaul ambiya’-al-hadist)
merasa bertanggung jawab untuk memimpin dan membawa umat kejalan yang diajarkan
oleh agama.
Memang banyak orang yang berkunjung
kepada mereka yang sebagian besar hanya untuk urusan dunia semata-mata.Jarang
sekali yang berkunjung dengan maksud-maksud yang bersifat ukhrawiyah, contohnya
minta dido’akan agar menjadi orang yang taat beribadah, berbudi luhur, tetap
iman, atau memohon petunjuk mereka agar bisamendapatkan ampunan dari Allah
s.w.t.
Satu hal yang menyedihkan bila hal
seperti itu terus menerus terjadi, sehingga benarlah apa yang diungkapkan oleh
Rasyid Ridho “Al-Islamu mahjubun bil muslimin”(Islam di dindingi
oleh kaum muslim sendiri).
Para Auliya’ dan Para ‘Arif Billah
sudah memasrahkan (taslim) seluruh hidupnya hanya UNTUK ALLAH, DENGAN ALLAH,
DAN KARENA ALLAH.Maka kedatangan pengunjung yang hanya untuk urusan pengobatan,
pangkat, jabatan, dan usaha bisnis atau entah apa lagi meskipun dalam agama
tidak ada larangan, secara tidak langsung menurunkan harkat dan martabat mereka
sebagai Auliya’ menjadi seorang “dukun”.
Ajaran dalam ilmu tasawuf
adalah ajaran kebersihan batin dan kebatinan, semata-mata menjurus untuk bisa
memasuki Hidlratul Qudsiyah (hidrat kesucian) dengan makrifat, yang sempurna,
agar bisa Musyahadah, Mukasyafah, dengan siraman Mahabbah dari pada-Nya.
Semua itu dapat disauk dari buah
tutur Para ‘Arif Billah, mereka yang berenang dalam lautan “cinta kasih” Allah
sirna dalam kecemerlangan Nur Allah.
Kita raih sebutir kecil diantara
permata indah yang mereka tebarkan, untuk menghias ruh dikala ia akan pergi
memenuhi panggilan.
Asal mula sebutan serta makna Tasawuf
Para tokoh muslim pada masa sesudah
Rosulallah s.a.w. tidak pernah menamakan diri mereka selain dengan nama
“sahabat Rosulallah”, karena tidak ada nama yang paling utamaselain nama itu
sehingga mereka terkenal dengan sebutan “para sahabat”.
Pada periode kedua mereka yang hidup
bersamapara sahabat terkenal dengan sebutan “tabiin”.Kelompok yang mendapat
sebutan ini ialah orang-orangyang paling mulia dimasanya.
Kemudian generasi yang hidup
sesudahnya dinamakan “atba’ut tabi’in” atau para pengikut tabiin.
Sesudah itu tejadilah perbedaan
pendapat mengenai nama para tokoh muslim. Pada kurun sesudah “atba’ut
tabi’in” terdapat beberapa kelompoktingkatan. Para tokoh istimewa yang
mempunyai perhatian sangat besar terhadap masalah agama dinamakan “zuhhad”
(ahli zuhud) dan ”ubbad” (ahli ibadah).
Kemudian munculah perbedaan baru,
yaitu terjadi istilah sebutan baru dikalangan beberapa golongan.Setiap golongan
mengaku mempunyai seorang “zuhhad”.Golongan “Ahlu Sunah” menamakan para
tokohnya yang sangat hati-hati dalam memelihara jiwa dengan pendekatan diri
pada Allah dan sangat waspada terhadap kelengahan dzikir pada Allah dengan
sebutan “tasawuf”. Sebutan ini sangat populer pada periode duaratus tahun
sesudah Hijrah.
Penyebutan tasawuf juga disandarkan
pada perkataan arab yang artinya bersih/suci, hal tersebut berdasarkan hadist
yang diriwayatkan dari Abu Yazid bin Abu Ziyad dari Abu juhaifah yang berkata :bahwa
Rosulallah Saw. Pernah datang kepada kami yang wajahnya tampak seperti marah,
lalu bersabda : “Telah hilang kebersihan (sofwu)dunia. Tinggal
keruhnya. Maka, mati hari ini adalah sesuatu yang mahal bagi setiap muslim.” (hadist
ini disebutkan dalam Al-Kanz 15/551 nomor 42138, hadist riwayat Daruqutni dari
Jabir).
Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Bersih
(tulus) itu terpuji oleh semua lisan, dan lawannya adalah kotor yang tercela.”
Ustaz Asy-Syaikhjugabekata, “Nama
ini(tasawuf) telah melekat pada kelompok ini, sehingga dikatakan, dia
seorang sufi, Jika kelompok mereka itu shufiyah (orang-orang sufi),
maka jika seseorang telah mencapai nama ini, dia itu disebut mutasawwif.
Bentuk Pluralnya mutashawwifah.Nama ini menurut bahasa arab bukan
termasuk kias atau istiqoq(kata pecahan ayau jadian). Nama ini semacam
julukan.Adapun ucapan yang mengatakan, ‘ini dari bahan wol (shuf)’ jika
kata itu diambil dari kata tashawwafa (dari kata qomis) yan
berarti memakai baju gamis.Ini dari satu sisi. Akan tetapi orang-orang arab
tidak mengkhususkan makna tashawwafa dengan mengenakan pakaian wol. Ada
yang mengatakan ‘Mereka (mutashawwifah) adalah orang-orang yang
menisbahkan pada sifat masjid Rosulallah Saw. Padahal penisbatan pada sifat ini
bukan untuk para sufi. Sedangkan pendapat yang mengatakan ‘Kata tashawwuf itu
diambil dari kata ash-shaofa’ yang berarti ketulusan. Ada yang mengataka
kata-kata ini sangatlah jauh jika ditinjau dari pecahan kata asli menurutbahasa
arab. Ada yang mengatakan tashawwuf berasal dari kata shaff (barisan) yang
terdepan dihadapan Allah karena ketulusan hatinya. Makna ini memang benar,
namun dari segi bahasa tidak sesuai dengan penisbatan pada kata shaff.Kemudian
kelompok ini memang sangat terkenal dan banyak orang yang menanyakan arti
tasawuf itu sendiri.
Ahmad al-Jariri pernah ditanya tentang
tasawuf, maka jawabnya, “memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua
akhlak yang tak terpuji.”
Al-Junaidi pernah ditanya tentang
tasawuf, jawabnya, “Yaitu kebenaran yang kamu palingkan dapat mematikanmu, dan
dengan kebenaran ini dapat menghadapkanmu.”
Muhammad bin Ali Al-Qoshshab berkata,
“Tasawuf itu adalah akhlak yang terpuji, yang tampak dimasa yang mulia dari
seorang yang mulia, bersama dengan orang-orang yang mulia.”
“Tasawuf itu fikiran yng penuh dengan
konsentrasi satu, hati yang bersandar kepada Allah, dan perbuatan yang besandar
pada kibullah dan sunah rosul-Nya,” kata seorang ulama’.
Siapakah sufi itu?Maka terdapat
bebeberapa pengertian/pendapat:
Abu Hamzah Al-Baghdadi berkata,
“tanda seorang sufi yang tulus adalah keberadaan seseorang yang menjadi miskin
setelah kaya, menjadi hina setelah jaya, dan menjadi tersembunyi, setelah
terkenal.Tanda seorang sufiyang dusta adalah keberadaan seseorangyang menjadi
kaya setelah miskin, menjadi jaya setelah hina, dan menjadi terkenal setelah
tersembunyi.”
Ahmad Al-Jariri berkata, “Tasawuf
selalu mengoreksi hal ihwal dirinya dan menetapi sopan santun.” “tasawuf tunduk
kepada kebenaran,” kata Ali Al-Muzayyin. “Orang sufi (orang yang bersih) tidak
bisa dikotori oleh suatu apapun, bahkan semua yang keruh menjadi jernih karena
dia,” kata Askar An-Nakhsyabi.
Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya
tentang orang-orang sufi, lalu dijawab, “ Yaitu orang-orang yang mengutamakan
Allah daripada lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainnya.”
Dikatakan bahwa orang-orang sufi jika
berhadapan dengan dua hal sama-sama baik, dia selalu mengerjakan yang terbaik.
Dikatakan bahwa orang sufi adalah
orang yang mencabut semua kejelekan sampai akarnya, dan menggantinya dengan apa
saja yang benar. “Orang sufi diharuskan untuk memurnikan ke-Tuhan-an dan
tertutup dengan perbuatan ibadahnya,” kata seorang sufi. “Orang sufi tidak
berubah. Jika harus berubah, perubahan itu tidak sampai menjadikannya kotor,”
kata sebagian sufi lain.
Tidaklah samar bagi mereka yang
memiliki pandangan mata hati yang tajam, bahwa cita rasa ruhani, makrifat dan
iman yang sebenarnya, keyakinan keikhlasan, istiqomah dan kebersihan jiwa,
kebaikan moral dan ittiba’ yang sempurna terhadap Assunah, dan pengorbanan
penuh terhadap syari’at adalah tujuan yang sebenarnya yang senantiasa ditempuh
jalannya melalui beragam sarana dan cara yang berbeda-beda. Ahli hakikat tidak
mencukupkan diri untuk menggapainyadengan hanya melalui satu jalan saja.
Sedangkan cara yang paling berpengaruh dan kuat untuk menggapai tujuan ini pada
masa-masa fajar kemunculan dakwah islam adalah dengan : senantiasa bersama
dengan Nabi, yang tidak seorangpun mengetahui tentang pengaruhdan kekuatannya.
Tatkala umat ini tidak lagi bisa menikmati nikmat persahabatan langsung dengan Nabi
mulia itu, para penerus kenabian dan para dokter umat ini dalam beragam zaman
melakukan cara-cara yang bisa menggantikan cara lama itu. Akhirnya mereka
memfokuskan diri –karena beragam sebab dan alasan-pada “persahabatan dengan
Allah dan banyak berdzikir.”Cara itu diformalkan dalam tulisan-tulisan yang
baik yang kemudian dikenal dengan istilah Ilmu Tasawuf atau suluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar