Kamis, 01 November 2012

Ilmu Tashawuf


ILMU TASAWUF
Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran kebatinan yang disauk dari Telaga Rosulallah s.a.w. yang luas tiada bertepi, suatu ajaran kebatinan yang berabad-abad telah mewarnai kehidupan rasa umat islam pada umumnya khususnya di tanah air yang kita cintai ini.
Berkembangnya dunia modern dengan segala persoalan yang dihadapi, terjadinya perubahan tata nilai, intregitas budaya, kecenderungan menuju arah globalisasi dan aspek-aspek lainnya merupakan konsekwensi logis dari suatu proses kehidupan. Dampak positif maupun negatif memangselalu ada. Khawatir dengan terjadinya ketidak seimbangan antara pembinaan rohani dan jasmani, mental spiritual dengan fisik material maka penangkal yang paling ampuh untuk menghadapi akibat ketidak seimbangan tersebut adalah menyelami kembali karifan-kearifan ajaran dalam ilmu tasawuf yang diperankan oleh para sufiyang menikmati ajaran agama digali dari sisi kebatinan atau kerohaniannya.
Allah yang Maha Benar telah memberikan arahan suci dengan firman-Nya :
“seyogyanya, carilah kebahagiaan akhirat pada apa yang telah Allah berikan (petunjuk) untukmu, namun jangan lupa bagianmu di dunia” (QS.al-Qoshosh : 77)
Sudah sejak lama kalangan Ulama kebatinan islam (sufi) mengkhawatirkan ketidak seimbangan pembinaan rohani dan jasmani tersebut, sehingga nada suara, senandungdan irama dalam bentuk ucapan dan Tulisan termasuk Imam Ghazali seakan-akan membenci dunia dengan serba-serbinya. Kalau kita amati bentuk-bentuk ungkapan kalangan ulama-ulama kebatinan islam/ahli tasawuf/sufi tentang sorotan-sorotan mereka kepada dunia, dapat disimpulkan :
“Silahkan anda untuk merebut kedua-duanya (dunia akhirat)kalau anda memang mampu. Tetapi kenyataan menunjukan betapa banyak sudah manusia yang tenggelam dalam kepentingan dunianya, yang sukar untuk diselamatkan. Bila akhir hayat datang menjelang, mereka tinggalkan dunia –nyatanpa membawa apa-apa, dan datang diakhirat tidak mendapat apa-apa. Dengan tidak membawa apa-apadan tidak mendapat apa-apa pasti mengalami penderitaan, kesengsaran yang sulit untuk digambarkan”.
Para‘Arif Billah yang telah mengamalkan ilmu tasawuf dengan penuh keyakinan ditambah dengan pengalaman dan kenikmatan baik yang telah mereka rasakan, ingin berbagi rasa, meskipun mereka sadar tidak-lah semua orang bisa begitu, dan tidak semua orang harus begitu. Mereka sadar sepenuhnya dengan hadist Rosulallah s.a.w. : “sebaik-baik urusan ialah tengah-tengah”, pengertian “tengah-tengah” (awsath) adalah “keseimbangan”.Lalu bagaimanakah untuk menggapai keadaan yang “awsath”, para ‘Arif Billah  menjawab : “Dihadirat Allah” Keadaan itulah yang tidak ada batasnya, yang dalam istilah al-Qur’an :
Pada kedudukan yang pasti benardisamping Allah yang Maha Memiliki/ Maha Menentukan”. (QS. Al-Qomar : 55).
Menyadaribahwa manusia mempunyai keterbatasan dan terasa sulit menempatan diri pada dua pilihan secara bersamaan, maka pada akhirnya mereka memberatkan pilihannya pada kepentingan akhirat. Memfokuskan diri pada keduniawian mungkin saja bisa meraih hasil sebesar-besarnya, taruhlah sampai trilyunan namun kekayaan tersebut tidaklah kekal yang pada saat akhir hayat nanti akan ditinggalkannya.
Dengan adanyaIlmu tasawuf dari para ‘arif billah (sufi),menempatkan kehidupan ini sarat dengan makna terdalam melalui pengamalan ber-agama dimana keilmuan tersebut disauk dari al-Qur’an dan Hadist Rosulallah s.a.w. serta para sahabat sebagai sumber yang tidak akan ada habis-habisnya, dan mereka-pun menghayati dan menikmati do’a yang diajarkan oleh Rosulallah s.a.w. :
Ya Allah, naungilah hamba dibawah naungan-Mu, pada hari yang tiada naungan yang paling baik kecuali dibawah naungan-Mu. Berilah hamba dengan secangkir Nabi-Mu Muhammad s.a.w. suatu minuman yang menyegarkan yang tidak akan merasa haus lagi sesudah itu selama-lamanya. Ya Allah, Yang Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan”.
Konsep yang mereka sodorkan ialah ajaran Makrifatullah yang mencakup musyahadah, Mukasyafah dan Mahhabah (istilah-istilah tersebut akan dibahas dibagian lain blog ini) dengan dasar-dasar yang jelas dan shahih :
“Kami buka pandanganmu dari yang menutupimu, pada hari itu akan terang, jelas.” (QS. Al-Qof : 22.
“Mula-mula beragama adalah Makrifat (mengenal) kepada Allah” (al-Hadist)
“Maka sesunggguhnya, bukanlah matanya yang buta, tetapi (mata) hati yang berada dirongga dadanya”. (QS. Al-Haj : 46)
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka-pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah : 54)
 “Barang siapa yang ingin menjumpai Allah, Allah-pun ingin menjumpainya. Dan barang siapa yang tidak ingin menjumpai Allah, maka Allah-pun tidak ada berkeinginan menjumpainya”(HR. Ahmad, Bukhori, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i. Rodhiyallahu’anhum)

Tasawuf Bukanlah Klenikisme dan Magic
Betapa banyak dan amat disayangkan bahwa persangkaan orang-orang saat ini dan bahkan dari sebagian golongan umat islam sendiri yang mana sangkaan mereka bersumber pada pendapat-pendapat golongan Pengamat/Penyelidik barat tentang ke-Timuran yang sama sekali bukan dan malah anti islam, yang  menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ajaran klelik dan magic dan bahkan ada yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf meniru dari prilaku pendeta serta ajaran hinduisme. Alangkah disayangkan pendapat tersebut dan sungguh pendapat yang amat buruk persangkaannya yang mengakibatkan ruh dari ajaran islam sendiri dapat tercerabut sebagaimana tercerabutnya akar tanaman dari tanahnya sehingga layulah kehidupan yang menenteramkan dan membahagiaakan karena menjalankan agama tanpa dilandasi pengenalan dan rasa cinta terhadap Tuhan.
Pengamalan ilmu tasawuf bersumber pada kesucian al-Qur’an serta telaga Nabi s.a.w. dimana inti ajarannya meliputi : Tobat, Mujahadah (bersungguh-sungguh), uzlah (menyepi/menyendiri sebagaimana menyepinya nabi di gua hiro’), Takwa, wara’ (meninggalkan perbuatan sia-sia), Zuhud (meninggalkan kesenangan dunia), menentang nafsu, Tawakal, qona’ah, syukur, yakin, sabar, muroqobah (merasa selalu diawasi Allah), ikhlas, dzikir, akhlak mulia, kesopanan, ma’rifat kepada Allah, Cinta pada Allah dll. Bukankah kesemuanya itu diambil dari qur’an dan hadist dan merupakan hakikat dari ajaran-ajaran islam?
Tentang adanya praktek-praktek klinis oleh orang-orang yang umumnya disebut “orang pinter” sama sekali tidak ada hubungannya dan sangkut pautnya dengan ajaran/ilmu tasawuf. Seorang ulama ataupun yang sudah dianggap Auliya’ bisa saja meberikan pertolongan terhadap umat dalam hal yang bersifat klinis, tetapi mereka bukanlah misi sebenarnya yang mereka emban (sekalipun mereka mempunyai kelebihan/karomahakan hal tersebut). Mereka sebagai pewaris Nabi-nabi (warotsaul ambiya’-al-hadist) merasa bertanggung jawab untuk memimpin dan membawa umat kejalan yang diajarkan oleh agama.
Memang banyak orang yang berkunjung kepada mereka yang sebagian besar hanya untuk urusan dunia semata-mata.Jarang sekali yang berkunjung dengan maksud-maksud yang bersifat ukhrawiyah, contohnya minta dido’akan agar menjadi orang yang taat beribadah, berbudi luhur, tetap iman, atau memohon petunjuk mereka agar bisamendapatkan ampunan dari Allah s.w.t.
Satu hal yang menyedihkan bila hal seperti itu terus menerus terjadi, sehingga benarlah apa yang diungkapkan oleh Rasyid Ridho “Al-Islamu mahjubun bil muslimin”(Islam di dindingi oleh  kaum muslim sendiri).
Para Auliya’ dan Para ‘Arif Billah sudah memasrahkan (taslim) seluruh hidupnya hanya UNTUK ALLAH, DENGAN ALLAH, DAN KARENA ALLAH.Maka kedatangan pengunjung yang hanya untuk urusan pengobatan, pangkat, jabatan, dan usaha bisnis atau entah apa lagi meskipun dalam agama tidak ada larangan, secara tidak langsung menurunkan harkat dan martabat mereka sebagai Auliya’ menjadi seorang “dukun”.
Ajaran dalam ilmu tasawuf adalah ajaran kebersihan batin dan kebatinan, semata-mata menjurus untuk bisa memasuki Hidlratul Qudsiyah (hidrat kesucian) dengan makrifat, yang sempurna, agar bisa Musyahadah, Mukasyafah, dengan siraman Mahabbah dari pada-Nya.
Semua itu dapat disauk dari buah tutur Para ‘Arif Billah, mereka yang berenang dalam lautan “cinta kasih” Allah sirna dalam kecemerlangan Nur Allah.
Kita raih sebutir kecil diantara permata indah yang mereka tebarkan, untuk menghias ruh dikala ia akan pergi memenuhi panggilan.

Asal mula sebutan serta makna Tasawuf
Para tokoh muslim pada masa sesudah Rosulallah s.a.w. tidak pernah menamakan diri mereka selain dengan nama “sahabat Rosulallah”, karena tidak ada nama yang paling utamaselain nama itu sehingga mereka terkenal dengan sebutan “para sahabat”.
Pada periode kedua mereka yang hidup bersamapara sahabat terkenal dengan sebutan “tabiin”.Kelompok yang mendapat sebutan ini ialah orang-orangyang paling mulia dimasanya.
Kemudian generasi yang hidup sesudahnya dinamakan “atba’ut tabi’in” atau para pengikut tabiin.
Sesudah itu tejadilah perbedaan pendapat mengenai nama para tokoh muslim. Pada kurun sesudah “atba’ut tabi’in” terdapat beberapa kelompoktingkatan. Para tokoh istimewa yang mempunyai perhatian sangat besar terhadap masalah agama dinamakan “zuhhad” (ahli zuhud) dan ”ubbad” (ahli ibadah).
Kemudian munculah perbedaan baru, yaitu terjadi istilah sebutan baru dikalangan beberapa golongan.Setiap golongan mengaku mempunyai seorang “zuhhad”.Golongan “Ahlu Sunah” menamakan para tokohnya yang sangat hati-hati dalam memelihara jiwa dengan pendekatan diri pada Allah dan sangat waspada terhadap kelengahan dzikir pada Allah dengan sebutan “tasawuf”. Sebutan ini sangat populer pada periode duaratus tahun sesudah Hijrah.
Penyebutan tasawuf juga disandarkan pada perkataan arab yang artinya bersih/suci, hal tersebut berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Abu Yazid bin Abu Ziyad dari Abu juhaifah yang berkata :bahwa Rosulallah Saw. Pernah datang kepada kami yang wajahnya tampak seperti marah, lalu bersabda : “Telah hilang kebersihan (sofwu)dunia. Tinggal keruhnya. Maka, mati hari ini adalah sesuatu yang mahal bagi setiap muslim.” (hadist ini disebutkan dalam Al-Kanz 15/551 nomor 42138, hadist riwayat Daruqutni dari Jabir).
Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Bersih (tulus) itu terpuji oleh semua lisan, dan lawannya adalah kotor yang tercela.”
Ustaz Asy-Syaikhjugabekata, “Nama ini(tasawuf) telah melekat pada kelompok ini, sehingga dikatakan, dia seorang sufi, Jika kelompok mereka itu shufiyah (orang-orang sufi), maka jika seseorang telah mencapai nama ini, dia itu disebut mutasawwif. Bentuk Pluralnya mutashawwifah.Nama ini menurut bahasa arab bukan termasuk kias atau istiqoq(kata pecahan ayau jadian). Nama ini semacam julukan.Adapun ucapan yang mengatakan, ‘ini dari bahan wol (shuf)’ jika kata itu diambil dari kata tashawwafa (dari kata qomis) yan berarti memakai baju gamis.Ini dari satu sisi. Akan tetapi orang-orang arab tidak mengkhususkan makna tashawwafa dengan mengenakan pakaian wol. Ada yang mengatakan ‘Mereka (mutashawwifah) adalah orang-orang yang menisbahkan pada sifat masjid Rosulallah Saw. Padahal penisbatan pada sifat ini bukan untuk para sufi. Sedangkan pendapat yang mengatakan ‘Kata tashawwuf itu diambil dari kata ash-shaofa’ yang berarti ketulusan. Ada yang mengataka kata-kata ini sangatlah jauh jika ditinjau dari pecahan kata asli menurutbahasa arab. Ada yang mengatakan tashawwuf  berasal dari kata shaff (barisan) yang terdepan dihadapan Allah karena ketulusan hatinya. Makna ini memang benar, namun dari segi bahasa tidak sesuai dengan penisbatan pada kata shaff.Kemudian kelompok ini memang sangat terkenal dan banyak orang yang menanyakan arti tasawuf itu sendiri.
Ahmad al-Jariri pernah ditanya tentang tasawuf, maka jawabnya, “memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua akhlak yang tak terpuji.”
Al-Junaidi pernah ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Yaitu kebenaran yang kamu palingkan dapat mematikanmu, dan dengan kebenaran ini dapat menghadapkanmu.”
Muhammad bin Ali Al-Qoshshab berkata, “Tasawuf itu adalah akhlak yang terpuji, yang tampak dimasa yang mulia dari seorang yang mulia, bersama dengan orang-orang yang mulia.”
“Tasawuf itu fikiran yng penuh dengan konsentrasi satu, hati yang bersandar kepada Allah, dan perbuatan yang besandar pada kibullah dan sunah rosul-Nya,” kata seorang ulama’.
Siapakah sufi itu?Maka terdapat bebeberapa pengertian/pendapat:
Abu Hamzah Al-Baghdadi berkata, “tanda seorang sufi yang tulus adalah keberadaan seseorang yang menjadi miskin setelah kaya, menjadi hina setelah jaya, dan menjadi tersembunyi, setelah terkenal.Tanda seorang sufiyang dusta adalah keberadaan seseorangyang menjadi kaya setelah miskin, menjadi jaya setelah hina, dan menjadi terkenal setelah tersembunyi.”
Ahmad Al-Jariri berkata, “Tasawuf selalu mengoreksi hal ihwal dirinya dan menetapi sopan santun.” “tasawuf tunduk kepada kebenaran,” kata Ali Al-Muzayyin. “Orang sufi (orang yang bersih) tidak bisa dikotori oleh suatu apapun, bahkan semua yang keruh menjadi jernih karena dia,” kata Askar An-Nakhsyabi.
Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya tentang orang-orang sufi, lalu dijawab, “ Yaitu orang-orang yang mengutamakan Allah daripada lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainnya.”
Dikatakan bahwa orang-orang sufi jika berhadapan dengan dua hal sama-sama baik, dia selalu mengerjakan yang terbaik.
Dikatakan bahwa orang sufi adalah orang yang mencabut semua kejelekan sampai akarnya, dan menggantinya dengan apa saja yang benar. “Orang sufi diharuskan untuk memurnikan ke-Tuhan-an dan tertutup dengan perbuatan ibadahnya,” kata seorang sufi. “Orang sufi tidak berubah. Jika harus berubah, perubahan itu tidak sampai menjadikannya kotor,” kata sebagian sufi lain.
Tidaklah samar bagi mereka yang memiliki pandangan mata hati yang tajam, bahwa cita rasa ruhani, makrifat dan iman yang sebenarnya, keyakinan keikhlasan, istiqomah dan kebersihan jiwa, kebaikan moral dan ittiba’ yang sempurna terhadap Assunah, dan pengorbanan penuh terhadap syari’at adalah tujuan yang sebenarnya yang senantiasa ditempuh jalannya melalui beragam sarana dan cara yang berbeda-beda. Ahli hakikat tidak mencukupkan diri untuk menggapainyadengan hanya melalui satu jalan saja. Sedangkan cara yang paling berpengaruh dan kuat untuk menggapai tujuan ini pada masa-masa fajar kemunculan dakwah islam adalah dengan : senantiasa bersama dengan Nabi, yang tidak seorangpun mengetahui tentang pengaruhdan kekuatannya.
Tatkala umat ini tidak lagi bisa menikmati nikmat persahabatan langsung dengan Nabi mulia itu, para penerus kenabian dan para dokter umat ini dalam beragam zaman melakukan cara-cara yang bisa menggantikan cara lama itu. Akhirnya mereka memfokuskan diri –karena beragam sebab dan alasan-pada “persahabatan dengan Allah dan banyak berdzikir.”Cara itu diformalkan dalam tulisan-tulisan yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah Ilmu Tasawuf atau suluk.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar