PERANAN TASAWUF DALAM KEBAHAGIAAN
MANUSIA
Oleh KH. Dr. M. Dhiyauddin K. Azhmatkhan
I.
PENDAHULUAN
Tiada yang dicari oleh manusia bahkan
semua makhluk kecuali KEBAHAGIAAN, kebahagiaan itulah tujuan dari segala
tujuan, tujuan yang tidak punya tujuan lagi, dengan kata lain tujuan yang
terakhir.
Orang sekolah atau kuliah tujuannya
adalah untuk mendapat ilmu dan ijazah, setelah ilmu dan ijazah diperoleh tidak
lagi menjadi tujuan, ada tujuan berikutnya yaitu untuk mendapat pekerjaan atau
karir, setelah pekerjaan dan karir didapat tidak lagi menjadi tujuan, ada
tujuan berikutnya yaitu membangun rumah tangga, setelah rumahtangga dicapai
pasti masih ada tujuan berikutnya yaitu kebahagiaan. Kebahagiaanlah tujuan yang
terakhir, atau final.
Dalam al-Qur’an kebahagiaan disebut
al-Falah, orangnya disebut muflih jamaknya muflihun. Setiap
harisekurang-kurangnya 5 kali dalam 24 jam kita selalu mendengar seruan “hayya
‘alasholaah, hayya ‘alalfalaah”, itu
artinya kebahagiaanlah harus kita capai baik dalam kehidupan dunia maupun di
akhirat sesuai dengan do’a yang selalu kita panjatkan “Robbana atina fi
dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban nar”.
II. NIKMAT
DAN KEBAHAGIAAN
Kebahagiaan bukan hanya sesuatu yang
ingin dicapai oleh manusia tapi juga alasan dan tujuan untuk apa Allah
menciptakan manusia dan alam ini. Karena itu agar manusia bisa meraih
kebahagiaan maka Allah telah memberi kepada manusia nikmat sebagai sarana untuk
mencapai kebahagiaan.
Setelah hidup sebagai nikmat
ushul, maka ada 4 nikmat furu’ yang
diberikan Allah Swt. sebagai pelengkapnya yaitu :
1.
Rizqi (Q.S. 11 : 6)
2.
Pasangan/jodoh (Q.S. 30 : 21)
3.
Ilmu (Q.S 58 : 11)
4.
Agama (Q.S 5 : 3)
Dengan rizqi manusia diharapkan terpenuhi kebutuhan fisiknya,
dengan pasangan/jodoh diharapkan terpenuhi kebutuhan psikologisnya yaitu love
and understanding, dengan ilmu diharapkan terpenuhi kebutuhan intelektualnya
dan dengan agama terpenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu dekat dengan Tuhan. Dengan
4 macam nikmat tersebut manusia mestinya terpenuhi kebutuhan lahir dan
bathinnya, sehingga diharapkan manusia bisa BAHAGIA, sesuai dengan salah satu
definisi bahagia adalah ‘terpenuhinya harapan’ dan harapan manusia adalah terpenuhi
kebutuhannya baik fisik, psikologis, intelektual dan spiritual.
II. REALITAS YANG
PARADOKS
Memang seharusnya dengan 4 macam nikmat tersebut manusia
mestinya mencapai kebahagiaan, tetapi dalam kenyataan terjadi paradoks.
Buktinya banyak manusia yang diberi rizqi yang melimpah tapi tidak bahagia,
banyak orang yang menikah tapi tidak bahagia, banyak orang yang berpengetahuan,
akademisi tapi tidak bahagia, juga.. dan ini yang paling aneh bin ajaib orang
yang beragama tapi tidak bahagia. Itu semua menunjukan bahwa kebahagiaan tidak
identik dengan harta,keluarga, ilmu dan agama, melainkan hanya sekedar sarana.
Kenapa semua paradoks bisa terjadi? Satu penyebabnya karena manusia
tidak berhati suci atau qolbun salim yaitu hati yang bersih dari
ghoflah, riya’, dengki dan sombong. Hati yang tidak salim adalah hati yang
sakit, hati yang sakit tidak akan merasakan kedamaian dan manusia yang tidak
menemukan kedamaian dalam hatinya tidak akan menemukan kebahagian dimanapun dia
berada.
IV. TASHAWUF
ADALAH KENISCAYAAN
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, kebahagiaan atau
al-Falah adalah buah taqwa, (Q.S. 5 : 100) sedangkan taqwa adalah buah ibadah “Wahai
manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang sebelum kamu agar
kamu menjadi orang bertaqwa” (Q.S. 2
:21). Jadi menurut ayat ini dengan ibadah khususnya ibadah mahdhoh maka manusia
akan mencapai qolbun salim. Qolbun
salim itulah hatinya orang bertaqwa, karena itu orang bertaqwa dalam
al-Qur’an disebut sebagai orang yang ‘muflih’, “ulaaika ‘alahuda
mirrobihim wa ulaaika humul muflihun” (Q.S. 2 : 5).
Dengan sholat hati manusia mestinya bebas dari ghoflah,
dengan puasa mestinya bebas dari riya’, dengan zakat mestinya bebas dari dengki
dan dengan haji mestinya manusia bebas dari sombong. Tapi apa yang terjadi?
Banyak orang yang sholat, puasa, zakat, haji tapi hatinya tetap saja ghoflah,
riya, dengki dan sombong dengan kata lain tidak bisa meraih qolbun salim dan
menjadi orang bertaqwa. Kenapa demikian? Itu semua karena hati manusia masih
dikuasai oleh hawa nafsu dan keakuan, sedangkan untuk bisa mengendalikan hawa
nafsu tidak cukup hanya melalui pengamalan syari’at semata, diperlukan
mujahadah dan riyadhoh atau disiplin berthoriqot (Q.S. 72 : 16) Sedangkan untuk
berthoriqot diperlukan pemahaman dan penghayatan ilmu tashawuf yang benar,
sebagaimana yang diajarkan oleh
Rosulallah Saw. Dan para pewaris beliau yaitu para sahabat dan segenap para
wali-wali Allah Swt. Jadi agar manusia itu bahagia haruslah memiliki qolbun
salim, untuk mencapai qolbun salim diperlukan tazkiyatun nafs dan tathirul
qulub melalui disiplin thoriqot, dan
untuk itu diperlukan landasan ilmu tashawuf yang benar.
V. SUFI DAN
KELEZATAN SPIRITUAL
Siapakah orang sufi yang sejati? Orang sufi ialah orang yang
sangat amat mencintai Allah tanpa syarat tanpa batas (Q.S. 2 : 165),sedang cintanya
pada yang lain hanyalah merupakan ekspresi cintanya kepada Allah. Untuk
memiliki cinta yang sejati itu manusia harus bisa melepaskan keakuannya. Dengan
cinta inilah manusia akan merasakan kelezatan spiritual dan hanya dengan
kelezatan spiritual manusia akan menikmati kebahagiaan yang hakiki.
Ada 4 tingkatan kelezatan :
1. Kelezatan inderawi,
al ; makanan, minuman dan seks yang bisa dinikmati semua manusia dan semua
hewan.
2. Kelezatan
psikologis, al ; kekayaan, kekuasaan, kemasyhuranyang bisa dinikmati semua
manusia dan sebagian hewan.
3. Kelezatan
intelektual, al ; ilmu pengetahuan, filsafat dan seni yang bisa dinikmati semua
manusia tanpa hewan.
4. Kelezatan
spiritual, al ; iman dan taqwa yang hanya bisa dinikmati sebagian kecil manusia
khususnya orang sufi.
Dengan cinta orang sufi akan merasakan kebahagiaan saat
berjumpa dengan Allah Swt. Karena hanya dengan cinta perjumpaan akan dirasakan kebahagiaannya.
Dengan cinta orang sufi akan merasakan kebahagiaan saat
sakaratul maut karena baginya kematian adalah gerbang perjumpaan dengan Sang
Kekasih. Sedangkan bagi orang yang hubbu dunya kematian adalah penderitaan
karena dipaksa berpisah dengan yang dicintai.
Dengan cinta pula orang sufi akan merasakan kebahagiaan dalam
kehidupan di dunia saat berjuang dan lebih-lebih saat menerima hasil. Hanya
dengan cinta maka berjuang bukan lagi kewajiban yang memberatkan tapi keasyikan
yang menggairahkan.Dengan cinta pula maka hasil kerja setiap perjuangan akan
dirasakan kemanisannya meskipun jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Itu semua Karena orang sufi adalah orang yang selalu merasakan
kelezatan spiritual dalam setiap peristiwa dan kejadian sebagai buah cintanya
kepada Allah Swt.
VI.
KEBAHAGIAAN DALAM KEHARMONISAN
Secara fundamental manusia selalu memiliki 4 relasi yang
niscaya, yaitu dengan Tuhan, diri sendiri, manusia dan alam, kebahagiaan akan dirasakan jika ada
keharmonisan dalam relasi manusia dengan semua itu. Sedangkan keharmonisan hanya akan
bisa dialami jika ada cinta kepada Allah Swt.
Parameter keharmonisan relasi manusia;
1. Dengan Tuhan adalah syukur dalam segala waktu dan
keadaan. Inilah hikmahnya sholat;
2.
Dengan diri sendiri adalah sabar dalam menahan nafsu
inilah hikmahnya puasa;
3.
Dengan manusia adalah ridlo dengan kebahagiaan orang
lain, inilah hikmahnya zakat;
4. Dengan alam dunia adalah tawakkal mendasari ikhtiar,
dengan akhirat adalah berserah diri pada Allah mendasari amal sholeh, inilah
hikmahnya haji.
Dengan syukur pada Allah, sabar atas diri sendiri, ridlo atas
kebahagiaan manusia, dan tawakkal dan berserah diri dalam menjalani kehidupan
di dunia dan akherat maka manusia akan mengalami keharmonisan dalam semua aspek
kehidupan, dan karenanya manusia akan merasakan kebahagiaan. Itulahhakekatnya
syariat islam yang untuk mencapainya manusia tidak cukup hanya menempuh jalan
thoriqot tapi harus sampai hakikat, sehingga manusia bebas dari rasa takut dan
rasa sedih, “la khoufun ‘alaihim walahum yahzanun”(SQ 10: 62,63,64). Dan
inilah kehidupan batin para wali-wali Allah.
VII.
MENJADI SANG BAHAGIA
Bagi orang yang mencapai ma’rifat, yaitu orang yang
telah mencapai tauhid yang sejati maka
dengan syukur yang merupakan intisari sholat, mereka akan menyatu dengan nur
hayatullah. Dengan sabar yang
adalah intisari puasa mereka akan menyatu dengan nur ilmuLLah. Dengan
ridho sebagai inti zakat mereka akan menyatu dengan nur irodatuLLahdan dengan tawakal serta taslim yang menjadi
intisari haji, mereka akan menyatu dengan nur QudrotuLLah.Akhirnya dengan
itu semua orangyang telah mencapai ma’rifat tidak hanya sebatas menikmati
kebahagiaan dalam keharmonisan,bahkan menjadi Sang Bahagia itu sendiri, dengan
kata lain tidak hanya bisa menikmati madu tapi bahkan menjadi madu itu sendiri.
Inilah cita-cita para sufi dan tasawuf.Sampai disini kemampuan bahasa, cep tan
keno kinecap. Wallahu a’lam bishowab.
VIII.
KESIMPULAN
Semua manusia mendambakan
kebahagiaan sebagai tujuan yang harus dicapai dalam hidupnya. Kebahagiaan hanya
bisa dicapai jika manusia memiliki qolbun salim yaitu hati yang bebas dari
ghoflah, riya’, dengki, dan sombong. Ciri lain qolbun salim adalah hati yang
dipenuhi cinta pada Allah Swt. tanpa syarat tanpa batas. Dengan cinta pada
Allah Swt. tanpa syarat tanpa batas, manusia akan merasakan kelezatan spiritual
dan kebahagiaan dalam keharmonisan. Dan Bahkan lebih dari itu dengan
tercapainya ma’rifat dan tauhid akhirnya manusia akan menjadi sang bahagia itu
sendiri. Untuk mencapai itu semua, manusia hidup harus bertashawuf. Jika tidak
nonsen!!!
REFERENSI
1.
Al-Quranul karim, 2. AL-Hikmah
(Makalah disampaikan: dalam seminar tasawuf pada tanggal 11
Maret 2012 di Aula Masjid Sabilillah, Malang, Jatim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar