Kamis, 01 November 2012

Bahagia Dengan Tasawuf


MENGGAPAI KEBAHAGIAAN SEJATI
 MELALUI TASAWUF

Tiada yang dicari oleh manusia bahkan semua makhluk kecuali KEBAHAGIAAN, kebahagiaan itulah tujuan dari segala tujuan, tujuan yang tidak punya tujuan lagi, dengan kata lain tujuan yang terakhir.
Makna kebahagiaan yang sejati adalah kebahagian yang langgeng dialam malakut, menyaksikan cahaya “kehadiran” Tuhan yang Maha suci, menikmati keindahan ilahi nan Mahaluhur, dan melihat langsung pancaran “cahaya suci” yang amat mengagumkan. Kebahagiaan ini tidakakan didapat kecuali oleh jiwa yang bersih. Yaitu jiwa yang telah mendapatkan inayah rabbaniyah (pertolongan/bimbingan Tuhan) sehingga dengan mudah tergerak untuk menempuh jalan-jalan ilmu dan amal, terdorong untuk meraih cinta yang hakiki, dan selalu merindukan cahaya-cahaya ilahiyah. Dengan diperolehnya kebahagiaan ini, jiwa yang suci akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dihati manusia. 
Kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh dengan hanya mencintai Yang Mahabenar sepenuh hati, tanpa menyekutukan cinta kepada selain-Nya. Dan kecintaan yang utuh hanya akan tercapai dengan mengetahui kesempurnaan zat yang dicintai dan keindahan-Nya. Siapa yang tidak mengenal-Nya tidak akan mencintai-Nya. Manakala Zat  yang dicintai dengan sifat-sifat-Nya yang teramat indah diketahui hakikatnya secara sempurna, niscaya hati yang penuh cinta akan tumbuh padadiri orang yang mengetahui sifat-sifat-Nya secara sempurna itu.

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingannya selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS.al-baqoroh :165)

“Maka sesungguhnya, bukanlah matanya yang buta, tetapi (mata) hati yang berada di ronga dadanya” (QS. Al-Haj : 46)
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) didunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesatdari jalan (yang benar)” (QS. Al-Isro’ ;72)
“Mula-mula beragama adalah makrifat(mengenal) kepada Allah” (al-Hadist)

Para ‘Arif Billah berkata dengan jujur serta tulus hatinya :
“Kami selalu merasakan kenikmatan dan kelezatan yang sama sekali tidak pernah dirasakan oleh para raja dan penguasa dunia.Andaikata mereka tahu, pasti mereka rampas semua kenikmatan itu dari kami, lalu mereka singkirkan kami”.
Kenikmatan yang dimaksud adalah “kasyaf”, terbuka tirai penutup segala sesuatu, yang tampak hanyalah Ke-Esa-an, Ke-Agung-an, Ke-Indah-an, Ke-perkasaan dan Ke-Sempurna-an seluruh Asma dan Sifat Allah Jalla Jalaluhu.

Langkah awal yang harus dilakukan orang yang sedang meniti jalan cinta  adalah mengamati wujud semesta, mencurahkan fikiran tentang ciptaan-ciptaan Tuhan dan Keajaiban-keajaiban karya Rabbani yang kesemuanya itu menunjukan akan kesempurnaan Penciptanya, Ke-Agung-an, Ke-Indah-an dan  Ke-perkasaan. Maka inilah yang dinamakan pintu makrifat.

Apabila jiwa yang bersih dan lurus benar-benar merenungkan hakikat diri manusia dengan segala kandungannya, mengambil pelajaran darinya, menyaksikan berbagai keajaiban hikmah yang dikandungnya dari semua sisi dan aspeknya, dan mengetahui seluruh seluk beluknya hingga bagian-bagiannya yang terkecil, maka ia (jiwa) akan menjadi lembut serta merasakan nikmatnya pengetahuan tentang wujud dan keagungan Tuhan. Jiwa juga akan merasakan bahwa kenikmatan irfani ini jauh lebih besar daripada kenikmatan fisik material dan kecenderungan-kecenderungan hewaniyah. Ketika jiwa sudahmerasakan kelembutan, kenikmatan dan pengetahuan irfani ini maka ia akan berusaha untuk mencapai kesempurnaan dalam kenikmatan dan pengetahuan itu.

Semakin lembut keadaan jiwa maka ia akan semakin merindukan keindahan. Bahkanpada gilirannya ia akan takhluk, tunduk dan menyerah pada keindahan. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair :

Betapa banyak cinta takhlukan jiwa yang tegar
Dihadapan cinta ketegaran jiwa luluh  tak berdaya
Jika kau renungkan, ketundukan jiwa terhadap cinta
Adalah sesuatu yang mengagumkan

Bagaimanakah dan apakah ilmu agar mendapatkan Kebahagiaan sejati?
Yaitu ilmu tasawuf.Kenapa demikian?Karena dalam hati manusia masih diliputi hawa nafsu dan ananiyah(keakuan/ego).Jiwa yang dipenuhi hawa nafsu harus disucikan.Ilmu tasawuf mengajarkan jalan untuk mensucikan jiwa tersebut.

Pengendalian hawa nafsu tidak cukup hanya melalui pengamalan syari’at semata (kewajiban mengamalkan hukum-hukum islam), namun diperlukan mujahadah dan riyadhoh atau disiplin berthoriqot (Q.S. al-Jin: 16) Sedangkan untuk berthoriqot  diperlukan pemahaman dan penghayatan ilmu tasawuf yang benar, sebagaimana  yang diajarkan oleh Rosulallah Saw. Dan para pewaris beliau yaitu para sahabat dan segenap para wali-wali Allah Swt. Jadi agar manusia itu bahagia, maka jiwa harus dibersihkan (tazkiyatun nafs) sehingga  berbuahqolbun salim (hati yang selamat), dan tathirul qulub melalui disiplin thoriqot, dan  untuk itu diperlukan landasan ilmu tashawuf yang benar.

Bagaimanakah mendalami ilmu tasawuf yang benar?
Diperlukan seorang guru yang dapat memberikan petunjuk dan arahan (mursyid). Ilmu tasawuf adalah ilmu tentang penyucian jiwa yang bertujuan mendapatkan cinta dan pengenalan (makrifat) pada Tuhan sehingga tidak cukup dengan hanyamebaca literatur dari buku-buku bacaan, diperlukan hubungan batin/ruhiyyah dengan seorang pembimbing, pembimbing yang baik ialah pembimbing yang sudah mempunyai keshalehan, ber-akhlak mulia serta suci dari hal-hal yang berhubungan dengan keduniawiaan.

Rosulallah SAW bersabda :
“Barang siapa yang ingin menjumpai Allah, Allah-pun ingin menjumpainya. Dan barang siapa yang tidak ingin menjumpai Allah, maka Allah-pun tidak ada berkeinginan menjumpainya”
(HR. Ahmad, Bukhori, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i. Rodhiyallahu’anhum)

Ilmu Tashawuf


ILMU TASAWUF
Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran kebatinan yang disauk dari Telaga Rosulallah s.a.w. yang luas tiada bertepi, suatu ajaran kebatinan yang berabad-abad telah mewarnai kehidupan rasa umat islam pada umumnya khususnya di tanah air yang kita cintai ini.
Berkembangnya dunia modern dengan segala persoalan yang dihadapi, terjadinya perubahan tata nilai, intregitas budaya, kecenderungan menuju arah globalisasi dan aspek-aspek lainnya merupakan konsekwensi logis dari suatu proses kehidupan. Dampak positif maupun negatif memangselalu ada. Khawatir dengan terjadinya ketidak seimbangan antara pembinaan rohani dan jasmani, mental spiritual dengan fisik material maka penangkal yang paling ampuh untuk menghadapi akibat ketidak seimbangan tersebut adalah menyelami kembali karifan-kearifan ajaran dalam ilmu tasawuf yang diperankan oleh para sufiyang menikmati ajaran agama digali dari sisi kebatinan atau kerohaniannya.
Allah yang Maha Benar telah memberikan arahan suci dengan firman-Nya :
“seyogyanya, carilah kebahagiaan akhirat pada apa yang telah Allah berikan (petunjuk) untukmu, namun jangan lupa bagianmu di dunia” (QS.al-Qoshosh : 77)
Sudah sejak lama kalangan Ulama kebatinan islam (sufi) mengkhawatirkan ketidak seimbangan pembinaan rohani dan jasmani tersebut, sehingga nada suara, senandungdan irama dalam bentuk ucapan dan Tulisan termasuk Imam Ghazali seakan-akan membenci dunia dengan serba-serbinya. Kalau kita amati bentuk-bentuk ungkapan kalangan ulama-ulama kebatinan islam/ahli tasawuf/sufi tentang sorotan-sorotan mereka kepada dunia, dapat disimpulkan :
“Silahkan anda untuk merebut kedua-duanya (dunia akhirat)kalau anda memang mampu. Tetapi kenyataan menunjukan betapa banyak sudah manusia yang tenggelam dalam kepentingan dunianya, yang sukar untuk diselamatkan. Bila akhir hayat datang menjelang, mereka tinggalkan dunia –nyatanpa membawa apa-apa, dan datang diakhirat tidak mendapat apa-apa. Dengan tidak membawa apa-apadan tidak mendapat apa-apa pasti mengalami penderitaan, kesengsaran yang sulit untuk digambarkan”.
Para‘Arif Billah yang telah mengamalkan ilmu tasawuf dengan penuh keyakinan ditambah dengan pengalaman dan kenikmatan baik yang telah mereka rasakan, ingin berbagi rasa, meskipun mereka sadar tidak-lah semua orang bisa begitu, dan tidak semua orang harus begitu. Mereka sadar sepenuhnya dengan hadist Rosulallah s.a.w. : “sebaik-baik urusan ialah tengah-tengah”, pengertian “tengah-tengah” (awsath) adalah “keseimbangan”.Lalu bagaimanakah untuk menggapai keadaan yang “awsath”, para ‘Arif Billah  menjawab : “Dihadirat Allah” Keadaan itulah yang tidak ada batasnya, yang dalam istilah al-Qur’an :
Pada kedudukan yang pasti benardisamping Allah yang Maha Memiliki/ Maha Menentukan”. (QS. Al-Qomar : 55).
Menyadaribahwa manusia mempunyai keterbatasan dan terasa sulit menempatan diri pada dua pilihan secara bersamaan, maka pada akhirnya mereka memberatkan pilihannya pada kepentingan akhirat. Memfokuskan diri pada keduniawian mungkin saja bisa meraih hasil sebesar-besarnya, taruhlah sampai trilyunan namun kekayaan tersebut tidaklah kekal yang pada saat akhir hayat nanti akan ditinggalkannya.
Dengan adanyaIlmu tasawuf dari para ‘arif billah (sufi),menempatkan kehidupan ini sarat dengan makna terdalam melalui pengamalan ber-agama dimana keilmuan tersebut disauk dari al-Qur’an dan Hadist Rosulallah s.a.w. serta para sahabat sebagai sumber yang tidak akan ada habis-habisnya, dan mereka-pun menghayati dan menikmati do’a yang diajarkan oleh Rosulallah s.a.w. :
Ya Allah, naungilah hamba dibawah naungan-Mu, pada hari yang tiada naungan yang paling baik kecuali dibawah naungan-Mu. Berilah hamba dengan secangkir Nabi-Mu Muhammad s.a.w. suatu minuman yang menyegarkan yang tidak akan merasa haus lagi sesudah itu selama-lamanya. Ya Allah, Yang Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan”.
Konsep yang mereka sodorkan ialah ajaran Makrifatullah yang mencakup musyahadah, Mukasyafah dan Mahhabah (istilah-istilah tersebut akan dibahas dibagian lain blog ini) dengan dasar-dasar yang jelas dan shahih :
“Kami buka pandanganmu dari yang menutupimu, pada hari itu akan terang, jelas.” (QS. Al-Qof : 22.
“Mula-mula beragama adalah Makrifat (mengenal) kepada Allah” (al-Hadist)
“Maka sesunggguhnya, bukanlah matanya yang buta, tetapi (mata) hati yang berada dirongga dadanya”. (QS. Al-Haj : 46)
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka-pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah : 54)
 “Barang siapa yang ingin menjumpai Allah, Allah-pun ingin menjumpainya. Dan barang siapa yang tidak ingin menjumpai Allah, maka Allah-pun tidak ada berkeinginan menjumpainya”(HR. Ahmad, Bukhori, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i. Rodhiyallahu’anhum)

Tasawuf Bukanlah Klenikisme dan Magic
Betapa banyak dan amat disayangkan bahwa persangkaan orang-orang saat ini dan bahkan dari sebagian golongan umat islam sendiri yang mana sangkaan mereka bersumber pada pendapat-pendapat golongan Pengamat/Penyelidik barat tentang ke-Timuran yang sama sekali bukan dan malah anti islam, yang  menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ajaran klelik dan magic dan bahkan ada yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf meniru dari prilaku pendeta serta ajaran hinduisme. Alangkah disayangkan pendapat tersebut dan sungguh pendapat yang amat buruk persangkaannya yang mengakibatkan ruh dari ajaran islam sendiri dapat tercerabut sebagaimana tercerabutnya akar tanaman dari tanahnya sehingga layulah kehidupan yang menenteramkan dan membahagiaakan karena menjalankan agama tanpa dilandasi pengenalan dan rasa cinta terhadap Tuhan.
Pengamalan ilmu tasawuf bersumber pada kesucian al-Qur’an serta telaga Nabi s.a.w. dimana inti ajarannya meliputi : Tobat, Mujahadah (bersungguh-sungguh), uzlah (menyepi/menyendiri sebagaimana menyepinya nabi di gua hiro’), Takwa, wara’ (meninggalkan perbuatan sia-sia), Zuhud (meninggalkan kesenangan dunia), menentang nafsu, Tawakal, qona’ah, syukur, yakin, sabar, muroqobah (merasa selalu diawasi Allah), ikhlas, dzikir, akhlak mulia, kesopanan, ma’rifat kepada Allah, Cinta pada Allah dll. Bukankah kesemuanya itu diambil dari qur’an dan hadist dan merupakan hakikat dari ajaran-ajaran islam?
Tentang adanya praktek-praktek klinis oleh orang-orang yang umumnya disebut “orang pinter” sama sekali tidak ada hubungannya dan sangkut pautnya dengan ajaran/ilmu tasawuf. Seorang ulama ataupun yang sudah dianggap Auliya’ bisa saja meberikan pertolongan terhadap umat dalam hal yang bersifat klinis, tetapi mereka bukanlah misi sebenarnya yang mereka emban (sekalipun mereka mempunyai kelebihan/karomahakan hal tersebut). Mereka sebagai pewaris Nabi-nabi (warotsaul ambiya’-al-hadist) merasa bertanggung jawab untuk memimpin dan membawa umat kejalan yang diajarkan oleh agama.
Memang banyak orang yang berkunjung kepada mereka yang sebagian besar hanya untuk urusan dunia semata-mata.Jarang sekali yang berkunjung dengan maksud-maksud yang bersifat ukhrawiyah, contohnya minta dido’akan agar menjadi orang yang taat beribadah, berbudi luhur, tetap iman, atau memohon petunjuk mereka agar bisamendapatkan ampunan dari Allah s.w.t.
Satu hal yang menyedihkan bila hal seperti itu terus menerus terjadi, sehingga benarlah apa yang diungkapkan oleh Rasyid Ridho “Al-Islamu mahjubun bil muslimin”(Islam di dindingi oleh  kaum muslim sendiri).
Para Auliya’ dan Para ‘Arif Billah sudah memasrahkan (taslim) seluruh hidupnya hanya UNTUK ALLAH, DENGAN ALLAH, DAN KARENA ALLAH.Maka kedatangan pengunjung yang hanya untuk urusan pengobatan, pangkat, jabatan, dan usaha bisnis atau entah apa lagi meskipun dalam agama tidak ada larangan, secara tidak langsung menurunkan harkat dan martabat mereka sebagai Auliya’ menjadi seorang “dukun”.
Ajaran dalam ilmu tasawuf adalah ajaran kebersihan batin dan kebatinan, semata-mata menjurus untuk bisa memasuki Hidlratul Qudsiyah (hidrat kesucian) dengan makrifat, yang sempurna, agar bisa Musyahadah, Mukasyafah, dengan siraman Mahabbah dari pada-Nya.
Semua itu dapat disauk dari buah tutur Para ‘Arif Billah, mereka yang berenang dalam lautan “cinta kasih” Allah sirna dalam kecemerlangan Nur Allah.
Kita raih sebutir kecil diantara permata indah yang mereka tebarkan, untuk menghias ruh dikala ia akan pergi memenuhi panggilan.

Asal mula sebutan serta makna Tasawuf
Para tokoh muslim pada masa sesudah Rosulallah s.a.w. tidak pernah menamakan diri mereka selain dengan nama “sahabat Rosulallah”, karena tidak ada nama yang paling utamaselain nama itu sehingga mereka terkenal dengan sebutan “para sahabat”.
Pada periode kedua mereka yang hidup bersamapara sahabat terkenal dengan sebutan “tabiin”.Kelompok yang mendapat sebutan ini ialah orang-orangyang paling mulia dimasanya.
Kemudian generasi yang hidup sesudahnya dinamakan “atba’ut tabi’in” atau para pengikut tabiin.
Sesudah itu tejadilah perbedaan pendapat mengenai nama para tokoh muslim. Pada kurun sesudah “atba’ut tabi’in” terdapat beberapa kelompoktingkatan. Para tokoh istimewa yang mempunyai perhatian sangat besar terhadap masalah agama dinamakan “zuhhad” (ahli zuhud) dan ”ubbad” (ahli ibadah).
Kemudian munculah perbedaan baru, yaitu terjadi istilah sebutan baru dikalangan beberapa golongan.Setiap golongan mengaku mempunyai seorang “zuhhad”.Golongan “Ahlu Sunah” menamakan para tokohnya yang sangat hati-hati dalam memelihara jiwa dengan pendekatan diri pada Allah dan sangat waspada terhadap kelengahan dzikir pada Allah dengan sebutan “tasawuf”. Sebutan ini sangat populer pada periode duaratus tahun sesudah Hijrah.
Penyebutan tasawuf juga disandarkan pada perkataan arab yang artinya bersih/suci, hal tersebut berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Abu Yazid bin Abu Ziyad dari Abu juhaifah yang berkata :bahwa Rosulallah Saw. Pernah datang kepada kami yang wajahnya tampak seperti marah, lalu bersabda : “Telah hilang kebersihan (sofwu)dunia. Tinggal keruhnya. Maka, mati hari ini adalah sesuatu yang mahal bagi setiap muslim.” (hadist ini disebutkan dalam Al-Kanz 15/551 nomor 42138, hadist riwayat Daruqutni dari Jabir).
Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Bersih (tulus) itu terpuji oleh semua lisan, dan lawannya adalah kotor yang tercela.”
Ustaz Asy-Syaikhjugabekata, “Nama ini(tasawuf) telah melekat pada kelompok ini, sehingga dikatakan, dia seorang sufi, Jika kelompok mereka itu shufiyah (orang-orang sufi), maka jika seseorang telah mencapai nama ini, dia itu disebut mutasawwif. Bentuk Pluralnya mutashawwifah.Nama ini menurut bahasa arab bukan termasuk kias atau istiqoq(kata pecahan ayau jadian). Nama ini semacam julukan.Adapun ucapan yang mengatakan, ‘ini dari bahan wol (shuf)’ jika kata itu diambil dari kata tashawwafa (dari kata qomis) yan berarti memakai baju gamis.Ini dari satu sisi. Akan tetapi orang-orang arab tidak mengkhususkan makna tashawwafa dengan mengenakan pakaian wol. Ada yang mengatakan ‘Mereka (mutashawwifah) adalah orang-orang yang menisbahkan pada sifat masjid Rosulallah Saw. Padahal penisbatan pada sifat ini bukan untuk para sufi. Sedangkan pendapat yang mengatakan ‘Kata tashawwuf itu diambil dari kata ash-shaofa’ yang berarti ketulusan. Ada yang mengataka kata-kata ini sangatlah jauh jika ditinjau dari pecahan kata asli menurutbahasa arab. Ada yang mengatakan tashawwuf  berasal dari kata shaff (barisan) yang terdepan dihadapan Allah karena ketulusan hatinya. Makna ini memang benar, namun dari segi bahasa tidak sesuai dengan penisbatan pada kata shaff.Kemudian kelompok ini memang sangat terkenal dan banyak orang yang menanyakan arti tasawuf itu sendiri.
Ahmad al-Jariri pernah ditanya tentang tasawuf, maka jawabnya, “memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua akhlak yang tak terpuji.”
Al-Junaidi pernah ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Yaitu kebenaran yang kamu palingkan dapat mematikanmu, dan dengan kebenaran ini dapat menghadapkanmu.”
Muhammad bin Ali Al-Qoshshab berkata, “Tasawuf itu adalah akhlak yang terpuji, yang tampak dimasa yang mulia dari seorang yang mulia, bersama dengan orang-orang yang mulia.”
“Tasawuf itu fikiran yng penuh dengan konsentrasi satu, hati yang bersandar kepada Allah, dan perbuatan yang besandar pada kibullah dan sunah rosul-Nya,” kata seorang ulama’.
Siapakah sufi itu?Maka terdapat bebeberapa pengertian/pendapat:
Abu Hamzah Al-Baghdadi berkata, “tanda seorang sufi yang tulus adalah keberadaan seseorang yang menjadi miskin setelah kaya, menjadi hina setelah jaya, dan menjadi tersembunyi, setelah terkenal.Tanda seorang sufiyang dusta adalah keberadaan seseorangyang menjadi kaya setelah miskin, menjadi jaya setelah hina, dan menjadi terkenal setelah tersembunyi.”
Ahmad Al-Jariri berkata, “Tasawuf selalu mengoreksi hal ihwal dirinya dan menetapi sopan santun.” “tasawuf tunduk kepada kebenaran,” kata Ali Al-Muzayyin. “Orang sufi (orang yang bersih) tidak bisa dikotori oleh suatu apapun, bahkan semua yang keruh menjadi jernih karena dia,” kata Askar An-Nakhsyabi.
Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya tentang orang-orang sufi, lalu dijawab, “ Yaitu orang-orang yang mengutamakan Allah daripada lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainnya.”
Dikatakan bahwa orang-orang sufi jika berhadapan dengan dua hal sama-sama baik, dia selalu mengerjakan yang terbaik.
Dikatakan bahwa orang sufi adalah orang yang mencabut semua kejelekan sampai akarnya, dan menggantinya dengan apa saja yang benar. “Orang sufi diharuskan untuk memurnikan ke-Tuhan-an dan tertutup dengan perbuatan ibadahnya,” kata seorang sufi. “Orang sufi tidak berubah. Jika harus berubah, perubahan itu tidak sampai menjadikannya kotor,” kata sebagian sufi lain.
Tidaklah samar bagi mereka yang memiliki pandangan mata hati yang tajam, bahwa cita rasa ruhani, makrifat dan iman yang sebenarnya, keyakinan keikhlasan, istiqomah dan kebersihan jiwa, kebaikan moral dan ittiba’ yang sempurna terhadap Assunah, dan pengorbanan penuh terhadap syari’at adalah tujuan yang sebenarnya yang senantiasa ditempuh jalannya melalui beragam sarana dan cara yang berbeda-beda. Ahli hakikat tidak mencukupkan diri untuk menggapainyadengan hanya melalui satu jalan saja. Sedangkan cara yang paling berpengaruh dan kuat untuk menggapai tujuan ini pada masa-masa fajar kemunculan dakwah islam adalah dengan : senantiasa bersama dengan Nabi, yang tidak seorangpun mengetahui tentang pengaruhdan kekuatannya.
Tatkala umat ini tidak lagi bisa menikmati nikmat persahabatan langsung dengan Nabi mulia itu, para penerus kenabian dan para dokter umat ini dalam beragam zaman melakukan cara-cara yang bisa menggantikan cara lama itu. Akhirnya mereka memfokuskan diri –karena beragam sebab dan alasan-pada “persahabatan dengan Allah dan banyak berdzikir.”Cara itu diformalkan dalam tulisan-tulisan yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah Ilmu Tasawuf atau suluk.




Makalah Tasawuf


PERANAN TASAWUF DALAM KEBAHAGIAAN MANUSIA
Oleh KH. Dr. M. Dhiyauddin K. Azhmatkhan

I.             PENDAHULUAN
Tiada yang dicari oleh manusia bahkan semua makhluk kecuali KEBAHAGIAAN, kebahagiaan itulah tujuan dari segala tujuan, tujuan yang tidak punya tujuan lagi, dengan kata lain tujuan yang terakhir.
Orang sekolah atau kuliah tujuannya adalah untuk mendapat ilmu dan ijazah, setelah ilmu dan ijazah diperoleh tidak lagi menjadi tujuan, ada tujuan berikutnya yaitu untuk mendapat pekerjaan atau karir, setelah pekerjaan dan karir didapat tidak lagi menjadi tujuan, ada tujuan berikutnya yaitu membangun rumah tangga, setelah rumahtangga dicapai pasti masih ada tujuan berikutnya yaitu kebahagiaan. Kebahagiaanlah tujuan yang terakhir, atau final.
Dalam al-Qur’an kebahagiaan disebut al-Falah, orangnya disebut muflih jamaknya muflihun. Setiap harisekurang-kurangnya 5 kali dalam 24 jam kita selalu mendengar seruan “hayya ‘alasholaah, hayya ‘alalfalaah”,  itu artinya kebahagiaanlah harus kita capai baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat sesuai dengan do’a yang selalu kita panjatkan “Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban nar”.

II. NIKMAT DAN KEBAHAGIAAN
Kebahagiaan bukan hanya sesuatu yang ingin dicapai oleh manusia tapi juga alasan dan tujuan untuk apa Allah menciptakan manusia dan alam ini. Karena itu agar manusia bisa meraih kebahagiaan maka Allah telah memberi kepada manusia nikmat sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan.
Setelah hidup sebagai nikmat ushul,  maka ada 4 nikmat furu’ yang diberikan Allah Swt. sebagai pelengkapnya yaitu :
1.                 Rizqi (Q.S. 11 : 6)
2.                 Pasangan/jodoh (Q.S. 30 : 21)
3.                 Ilmu (Q.S 58 : 11)
4.                 Agama (Q.S 5 : 3)
Dengan rizqi manusia diharapkan terpenuhi kebutuhan fisiknya, dengan pasangan/jodoh diharapkan terpenuhi kebutuhan psikologisnya yaitu love and understanding, dengan ilmu diharapkan terpenuhi kebutuhan intelektualnya dan dengan agama terpenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu dekat dengan Tuhan. Dengan 4 macam nikmat tersebut manusia mestinya terpenuhi kebutuhan lahir dan bathinnya, sehingga diharapkan manusia bisa BAHAGIA, sesuai dengan salah satu definisi bahagia adalah ‘terpenuhinya harapan’ dan harapan manusia adalah terpenuhi kebutuhannya baik fisik, psikologis, intelektual dan spiritual.

II.     REALITAS YANG PARADOKS
Memang seharusnya dengan 4 macam nikmat tersebut manusia mestinya mencapai kebahagiaan, tetapi dalam kenyataan terjadi paradoks. Buktinya banyak manusia yang diberi rizqi yang melimpah tapi tidak bahagia, banyak orang yang menikah tapi tidak bahagia, banyak orang yang berpengetahuan, akademisi tapi tidak bahagia, juga.. dan ini yang paling aneh bin ajaib orang yang beragama tapi tidak bahagia. Itu semua menunjukan bahwa kebahagiaan tidak identik dengan harta,keluarga, ilmu dan agama, melainkan hanya sekedar sarana.
Kenapa semua paradoks bisa terjadi? Satu penyebabnya karena manusia tidak berhati suci atau qolbun salim yaitu hati yang bersih dari ghoflah, riya’, dengki dan sombong. Hati yang tidak salim adalah hati yang sakit, hati yang sakit tidak akan merasakan kedamaian dan manusia yang tidak menemukan kedamaian dalam hatinya tidak akan menemukan kebahagian dimanapun dia berada.

IV. TASHAWUF ADALAH KENISCAYAAN
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, kebahagiaan atau al-Falah adalah buah taqwa, (Q.S. 5 : 100) sedangkan taqwa adalah buah ibadah “Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang bertaqwa” (Q.S.  2 :21). Jadi menurut ayat ini dengan ibadah khususnya ibadah mahdhoh maka manusia akan mencapai qolbun salimQolbun salim itulah hatinya orang bertaqwa, karena itu orang bertaqwa dalam al-Qur’an disebut sebagai orang yang ‘muflih’, “ulaaika ‘alahuda mirrobihim wa ulaaika humul muflihun” (Q.S. 2 : 5).
Dengan sholat hati manusia mestinya bebas dari ghoflah, dengan puasa mestinya bebas dari riya’, dengan zakat mestinya bebas dari dengki dan dengan haji mestinya manusia bebas dari sombong. Tapi apa yang terjadi? Banyak orang yang sholat, puasa, zakat, haji tapi hatinya tetap saja ghoflah, riya, dengki dan sombong dengan kata lain tidak bisa meraih qolbun salim dan menjadi orang bertaqwa. Kenapa demikian? Itu semua karena hati manusia masih dikuasai oleh hawa nafsu dan keakuan, sedangkan untuk bisa mengendalikan hawa nafsu tidak cukup hanya melalui pengamalan syari’at semata, diperlukan mujahadah dan riyadhoh atau disiplin berthoriqot (Q.S. 72 : 16) Sedangkan untuk berthoriqot diperlukan pemahaman dan penghayatan ilmu tashawuf yang benar, sebagaimana  yang diajarkan oleh Rosulallah Saw. Dan para pewaris beliau yaitu para sahabat dan segenap para wali-wali Allah Swt. Jadi agar manusia itu bahagia haruslah memiliki qolbun salim, untuk mencapai qolbun salim diperlukan tazkiyatun nafs dan tathirul qulub melalui disiplin thoriqot, dan  untuk itu diperlukan landasan ilmu tashawuf yang benar.

V. SUFI DAN KELEZATAN SPIRITUAL
Siapakah orang sufi yang sejati? Orang sufi ialah orang yang sangat amat mencintai Allah tanpa syarat tanpa batas (Q.S. 2 : 165),sedang cintanya pada yang lain hanyalah merupakan ekspresi cintanya kepada Allah. Untuk memiliki cinta yang sejati itu manusia harus bisa melepaskan keakuannya. Dengan cinta inilah manusia akan merasakan kelezatan spiritual dan hanya dengan kelezatan spiritual manusia akan menikmati kebahagiaan yang hakiki.
Ada 4 tingkatan kelezatan :
1.     Kelezatan inderawi, al ; makanan, minuman dan seks yang bisa dinikmati semua manusia dan semua hewan.
2.     Kelezatan psikologis, al ; kekayaan, kekuasaan, kemasyhuranyang bisa dinikmati semua manusia dan sebagian hewan.
3.     Kelezatan intelektual, al ; ilmu pengetahuan, filsafat dan seni yang bisa dinikmati semua manusia tanpa hewan.
4.     Kelezatan spiritual, al ; iman dan taqwa yang hanya bisa dinikmati sebagian kecil manusia khususnya orang sufi.
Dengan cinta orang sufi akan merasakan kebahagiaan saat berjumpa dengan Allah Swt. Karena hanya dengan cinta perjumpaan akan dirasakan kebahagiaannya.
Dengan cinta orang sufi akan merasakan kebahagiaan saat sakaratul maut karena baginya kematian adalah gerbang perjumpaan dengan Sang Kekasih. Sedangkan bagi orang yang hubbu dunya kematian adalah penderitaan karena dipaksa berpisah dengan yang dicintai.
Dengan cinta pula orang sufi akan merasakan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia saat berjuang dan lebih-lebih saat menerima hasil. Hanya dengan cinta maka berjuang bukan lagi kewajiban yang memberatkan tapi keasyikan yang menggairahkan.Dengan cinta pula maka hasil kerja setiap perjuangan akan dirasakan kemanisannya meskipun jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Itu semua Karena orang sufi adalah orang yang selalu merasakan kelezatan spiritual dalam setiap peristiwa dan kejadian sebagai buah cintanya kepada Allah Swt.

VI. KEBAHAGIAAN DALAM KEHARMONISAN
Secara fundamental manusia selalu memiliki 4 relasi yang niscaya, yaitu dengan Tuhan, diri sendiri, manusia dan alam,  kebahagiaan akan dirasakan jika ada keharmonisan dalam relasi manusia dengan  semua itu. Sedangkan keharmonisan hanya akan bisa dialami jika ada cinta kepada Allah Swt.
Parameter keharmonisan relasi manusia;
1.   Dengan Tuhan adalah syukur dalam segala waktu dan keadaan. Inilah hikmahnya sholat;
2.        Dengan diri sendiri adalah sabar dalam menahan nafsu inilah hikmahnya puasa;
3.        Dengan manusia adalah ridlo dengan kebahagiaan orang lain, inilah hikmahnya zakat;
4.     Dengan alam dunia adalah tawakkal mendasari ikhtiar, dengan akhirat adalah berserah diri pada Allah mendasari amal sholeh, inilah hikmahnya haji.

Dengan syukur pada Allah, sabar atas diri sendiri, ridlo atas kebahagiaan manusia, dan tawakkal dan berserah diri dalam menjalani kehidupan di dunia dan akherat maka manusia akan mengalami keharmonisan dalam semua aspek kehidupan, dan karenanya manusia akan merasakan kebahagiaan. Itulahhakekatnya syariat islam yang untuk mencapainya manusia tidak cukup hanya menempuh jalan thoriqot tapi harus sampai hakikat, sehingga manusia bebas dari rasa takut dan rasa sedih, “la khoufun ‘alaihim walahum yahzanun”(SQ 10: 62,63,64). Dan inilah kehidupan batin para wali-wali Allah.

VII. MENJADI SANG BAHAGIA
Bagi orang yang mencapai ma’rifat, yaitu orang yang telah  mencapai tauhid yang sejati maka dengan syukur yang merupakan intisari sholat, mereka akan menyatu dengan nur hayatullah. Dengan   sabar yang adalah intisari puasa mereka akan menyatu dengan nur ilmuLLah. Dengan ridho sebagai inti zakat mereka akan menyatu dengan nur irodatuLLahdan  dengan tawakal serta taslim yang menjadi intisari haji, mereka akan menyatu dengan nur QudrotuLLah.Akhirnya dengan itu semua orangyang telah mencapai ma’rifat tidak hanya sebatas menikmati kebahagiaan dalam keharmonisan,bahkan menjadi Sang Bahagia itu sendiri, dengan kata lain tidak hanya bisa menikmati madu tapi bahkan menjadi madu itu sendiri. Inilah cita-cita para sufi dan tasawuf.Sampai disini kemampuan bahasa, cep tan keno kinecap. Wallahu a’lam bishowab.

VIII. KESIMPULAN
            Semua manusia mendambakan kebahagiaan sebagai tujuan yang harus dicapai dalam hidupnya. Kebahagiaan hanya bisa dicapai jika manusia memiliki qolbun salim yaitu hati yang bebas dari ghoflah, riya’, dengki, dan sombong. Ciri lain qolbun salim adalah hati yang dipenuhi cinta pada Allah Swt. tanpa syarat tanpa batas. Dengan cinta pada Allah Swt. tanpa syarat tanpa batas, manusia akan merasakan kelezatan spiritual dan kebahagiaan dalam keharmonisan. Dan Bahkan lebih dari itu dengan tercapainya ma’rifat dan tauhid akhirnya manusia akan menjadi sang bahagia itu sendiri. Untuk mencapai itu semua, manusia hidup harus bertashawuf. Jika tidak nonsen!!!

REFERENSI
1.                 Al-Quranul karim, 2. AL-Hikmah
(Makalah disampaikan: dalam seminar tasawuf pada tanggal 11 Maret 2012 di Aula Masjid Sabilillah, Malang, Jatim)


Minggu, 30 September 2012

Menanamkan Kebahagiaan Dihati Kita

Oleh : Slamet Riyadi
Disadur dari Pengajian : KH. Dr. M. Dhiyauddin Kushwandi, Azhmatkhan
Pengasuh Majlis Tasbih Nusantara

Didalam menjalani kehidupan seringkali kita dihadirkan pada kondisi yang tidak menentu, Padahal sudah lama kita beragama tapi masih saja mengalami jungkat-jungkit ; susah – senang,  sedih – gembira, kondisi tersebut memang berasal dari perasaan asli manusia ketika merespon kenyataan yang tidak sesuai maupun sesuai dengan harapan, namun perasaan ini andaikan orang tidak beragama-pun pasti memiliki, sedangkan kita beragama / beriman agar dapat  melampui perasaan tersebut.

Dalam QS. Al-Hadid 23 Allah SWT berfirman “(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri ”.
Allah SWT melarang bersedih dengan apa yang luput dari kita dan terlalu gembira atas apa yang telah kita dapat, ini ajaran yang nyaris luput dari perhatian kita. Patut kita ketahui bahwa perasaan diantara dua keadaan berlawanan tersebut ialah perasaan “Damai”, secara metaforik / kinayah (perumpamaan) maka perasaan damai itu seperti waktu subuh yang bukan siang bukan malam sebagaimana damai itu bukan susah bukan senang, coba kita rasakan kondisi waktu subuh pasti menyejukan. Jika kita mengalami waktu subuh dihati maka kita akan merasakan damai, entah siang atau malam kita tetap subuh saja. 

Dalam sejarah Imam Ghozali ra. setelah membaca ayat ini maka mengalami perenungan secara mendalam “jika masih terombang-ambing dengan kondisi tersebut berarti selama ini kita masih belum beragama”, karena jasmani sudah hidup, maka mestinya orang beragama itu untuk menghidupkan ruhani ini, dan tandanya hidupnya ruhani itu ada pada rasa damai. Akhirnya Imam Gozali meninggalkan semua aktivitas akademisnya dan ‘uzlah (menyendiri) selama 11 tahun di Syiria dan mengarang kitab ihya’ ‘ulumuddin yaitu kitab tentang ilmu menghidupkan ruhani, atas dasar ayat tersebut (QS.Al-Hadid 23).

Agama bukan hanya mengatur prilaku ritual karena itu masih tataran dhohir jika beragama hanya fokus pada ritual maka seperti beragamanya orang primitif/pedalaman yang hanya mempunyai kepercayaan buta dan disembah-sembah. Banyak orang yang sudah sholat, zakat dan pergi haji namun belum memberi efek dalam hatinya sehingga mempunyai perilaku seperti orang yang tidak beragama, belum mempunyai perasaan damai dan mendamaikan orang lain akhirnya beragama atau tidak adalah sama saja. 

Orang yang hatinya damai maka pikirannya akan kreatif dan produktif jika hatinya tidak damai maka fikiran jadi kacau untuk memecahkan masalah-pun tidak bisa, betapa pentingnya menghidupkan ruhani ini, bahkan rumah tangga bisa hancur jika ruhaninya tidak sehat.   
Dalam QS Al-Anfal  : 24 disebutkan  “Hai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan penuhilah seruan Rasul apabila Rasul menyuruh kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu…”
Orang yang beriman yang dipanggil dalam ayat tersebut adalah orang yang sudah hidup secara jasmani maka yang dimaksud seruan untuk menghidupkan ini adalah kehidupan ruhani, inilah target agama itu sesungguhnya. 

Bagaimana upaya kita untuk memperoleh kedamaian? ada 2 cara yang mendasarinya yaitu :
1. Dengan Ilmu (pemahaman)
Sebagaimana Qs Al-Hadid : 20, “ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah - megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur…”
Kita harus mengetahui dan sadar betul bahwa dunia itu hanyalah sementara  dan semu, sebagaimana tanaman yang tumbuh lalu mati, ini menandakan dunia itu bersifat sementara/ fana’, sehingga kita tidak perlu stress dan depresi jika mendapati harapan yang luput dan tidak terlalu gembira jika didapatkan.
2. Dengan Amal (perbuatan)
Amal yang dimaksud ialah dengan selalu berdzikir. Allah SWT berfirman “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.  Ingatlah hanya dengan berdzikir hati akan menjadi tentram” QS.
Maka melanggengkan kalimat dzikir dihati maupun lisan mempunyai efek dapat mendamaikan hati dan fikiran kita.

Orang yang hatinya damai dan ruhaninya hidup maka seperti sebuah as ditengah-tengah roda, tidak bisa diombang-ambingkan oleh kadaan walaupun itu tertimpa musibah atau diberi nikmat perasaan yang ada hanyalah tetap syukur dan tentram, jika seperti ruji maka keadaan akan selalu up and down / naik – turun atau bolak-balik tidak bisa tenang. Maka menanamkan waktu subuh dalam perasaan kita akan menjadikan hati lebih sejuk, tentram dan damai, sehingga bermuara pada kebahagiaan didunia dan akhirat.